BAB 1 CAHAYA
(Hari ke-1) Kebenaran sebagai Aksioma,
Kebenaran
seperti aksioma, merupakan sebuah pernyataan yang sudah pasti
kebenarannya. Seperti 1 ditambah 1 itu sama dengan 2.
Jelas dan gamblang. Dan saat dinyatakan terasa nyaman bagi yang menyampaikan
maupun bagi yang mendengarkan. Sebaliknya yang mengatakan 1 ditambah 1 itu
tidak sama dengan 2 akan terasa tersiksa, karena ada yang “aneh” di kepala
kita.
Mungkin
seperti itulah yang disebut pahala dalam terminologi agama. Kenyamanan yang
dirasakan saat kita mengatakan hal yang benar, melakukan hal yang benar, juga
meyakini hal yang benar. Sebaliknya perasaan tersiksa saat kita mengatakan hal
yang tak benar, juga melakukan hal yang tak benar, ataupun meyakini
ketidakbenaran: mungkin itu lah dosa.
Jadi
perjalanan kita menemukan kebenaran itu seperti perjalanan menuju kenyamanan.
Dan kenyamanan itu dapat kita rasakan saat kita menjalani semua ini dengan
bersandar pada nalar yang benar. Seperti hukum sebab akibat yang tak bisa kita
hindari dalam kehidupan sehari-hari. Hati-hati akan selamat, abai dan lalai
akan celaka. Sesederhana itu.
(Hari ke-2) Apakah kita seperti Laron?
Apakah
kita seperti Laron, yang hidup sesaat saja. Dimulai dari keluar sarang di dalam
tanah lalu bersiap terbang, mencari sumber cahaya. Dalam perjalanannya mereka
ada yang terlepas sayapnya lalu jatuh kembali ke tanah, dilanjutkan dengan
menempuh perjalanan dengan merayap, terkadang berakhir dengan maut dimangsa
unggas. Ada yang berhasil terbang menemukan lampu jalanan atau lampu di teras
rumah kita, tapi ia lalu terbakar, terjatuh, terlepas sayapnya dan kembali
merayap di tanah, berakhir sama: dimangsa unggas atau terinjak oleh kaki kita.
Apakah
kita akan setragis itu? Rasanya tidak. Kita bukan laron. Jika benar cahaya
adalah yang kita cari di sepanjang hidup ini, maka cahaya itu adalah cahaya
kebenaran yang tak melukai atau membuat kita terbakar. Justru sebaliknya cahaya
yang kita temukan nanti adalah cahaya yang mempesona, Mungkin cahaya itu berupa
pemahaman yang paripurna. Kelegaan yang tak terbandingkan.
Justru
yang berat adalah perjalanan untuk menemukannya. Ada beban kemalasan yang
memberati ada pula angin kencang emosi yang menghalangi, bahkan terkadang
terganggu oleh jubah harga diri kita, juga berhala citra yang mengaburkan kita
dari fokus pencarian kita atas cahaya itu. Kelalaian menjaga energi bisa
membuat kita terhenti.
(Hari ke-3) Habis Gelap Terbitlah Terang
Habis
Gelap Terbitlah Terang, kata RA Kartini. Ini bersesuaian dengan ayat “dari
kegelapan menuju cahaya” adalah perjuangan untuk menjadi lebih baik. Dengan
membaca gelap sebagai sisi awal lalu prosesnya adalah perjuangan, dan hasil
akhirnya adalah cahaya.
Gelap
mewakili kebodohan, penindasan, kemiskinan, kezaliman, kesepian, penderitaan,
dan segala sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan cahaya adalah kecerdasan,
keadilan, kemakmuran, pemberdayaan, kehangatan, kasih saying, kebahagiaan dan
segala sesuatu yang menyenangkan.
Perjuangan adalah proses di antara keduanya. Berisikan
pendidikan, pelatihan, pengembangan diri, konseling, parenting, kisah-kisah
inspiratif, pembangun mental, peletak pondasi peradaban. Adalah
pekerjaan-pekerjaan besar itu.
Hidup mungkin memang rangkaian perjuangan untuk terus
beranjak dari sisi gelap menuju ke sisi terang, menuju cahaya.
(Hari ke-4) Hidup adalah menjawab pertanyaan
Dalam perjalanan menuju cahaya itu,
pertanyaan-pertanyaan yang muncul serupa langkah kaki untuk terus maju di
gelapnya jalanan. Lalu berusaha mencari jawaban itu seperti usaha untuk meraba
dan memahami sekitar, mencari cara agar terus bergerak dekati sumber cahaya.
Hidup mungkin seperti percakapan, seperti tanya jawab.
Masalah yang kita temui adalah pertanyaan yang diajukan, maka tugas kita adalah
mencari jawabannya. Jika pertanyaan itu berupa tugas, maka penyelesaiannya
adalah jawaban. Jika pertanyaan itu mengundang gelisah maka jawabannya adalah
pencarian atas ketenangan.
Hidup seperti rangkaian pertanyaan yang terus
berdatangan, dan tugas kita adalah mencari jawaban. Terus begitu, sampai maut
datang hentikan hidup.