Sabtu, 19 Desember 2009

Bercakap dengan ombak;


Ombak itu seakan mengajak kami berbincang. Deburnya menampar ujung kaki, irama kecipak airnya merdu, seolah kata-kata lembut. Ia bercerita tentang waktu, tentang bintang, tentang kesetiaan pasir putih itu... yang sering kali ia koyak, ia tarik mereka ke tengah laut, sesekali tangan-tangan pasir itu saling berpegangan; erat sekali... namun koyakkan ombak sangatlah kuat. Mereka tercerai. Kadang bukan ombak yang memisahkan mereka, namun kaki-kaki kami para pelancong, yang seenaknya menginjak-injak mereka, sehingga banyak dari butiran pasir itu, dipaksa menempel di kerutan-kerutan kulit kami. Atau mungkin justru tangan-tangan usil kami, yang memang sengaja menggali, dan menimbun... membuat goresan huruf-huruf nama kami, sehingga pasir itu tercerai dari sahabatnya. Dan entah untuk berapa waktu kemudian mereka dapat bertemu lagi.

Ombak juga bertanya pada kami, tentang berapa waktu yang telah kami buang percuma, untuk sekedar memenuhi keinginan mimpi-mimpi kami. Berapa banyak energi yang telah kami curahkan untuk sebuah kata “ingin”. Padahal mungkin, karang itu jalani hari-harinya dengan abaikan keinginan hatinya; untuk terus rela, dipukul berulang kali oleh ombak. Atau riak ombak itu sendiri, manalah ia sempat bicara tentang keinginan, sementara begitu sibuk ia bertugas menyanyi, menciptakan irama, yang terus berulang, mengisi seluruh waktu, mengisi detak hari pada sebuah pantai. Karena tanpa irama riak ombak itu, manalah pantas suatu tempat disebut sebagai “pantai”. Apalagi pasir putih itu, berbaris saja di tepian air, menghiasi pantai; menanti ombak yang akan membawa mereka pergi, atau sol sepatu kami yang mungkin menjadi alat berkendara mereka, untuk meninggalkan pantai ini. Mungkin mereka masih ingin berlama-lama tinggal di sana, namun seorang anak memasukkan mereka dalam botol mainannya, lalu terbawa hingga ke kota. Mungkin saja ada air mata, atau lambaian tangan perpisahan.... atau justru itu tidak sempat mereka lakukan. Karena memang, sudah lama, mereka abaikan kata “ingin” dalam kehidupan mereka. Eh, kehidupan?? Apakah mereka hidup??

Ombak itu memang bercerita kepada kami. Bila mereka tidak bercerita, mengapa begitu banyak pertanyaan dalam isi kepala kami? Dari mana pertanyaan itu? Beberapa bisa saja kami jawab, namun beberapa lagi, tidak; tidak itu bisa karena memang sengaja tidak kami jawab. Karena jika kami paksa menjawabnya, jawaban itu menjadi seperti goresan yang mengganggu pada lukisan indah tentang sebuah pantai. Jawaban itu menjadi serupa tambahan tahi lalat pada wajah gadis yang justru indah tanpa tahi lalat. Karena itu, kami paksa mulut ini terdiam, menahan diri untuk tidak menjawab semua pertanyaan. Karena kami ingin hari ini tetap indah, sedang keindahan hari ini begitu penting, sekali lagi..karena kami hidup memang untuk sibuk melayani satu kata “ingin”.

Dan ombak terus mengajak bercakap-cakap; sampai matahari menegur kami, mengingatkan kami akan waktu yang tidak mau berhenti. Sehingga kami harus beranjak, meninggalkan jejak di punggung pasir, yang sesaat lagi terhapus oleh ombak, dan sayup-sayup terdengar teriakan pasir putih itu, ucapan selamat jalan, untuk kami, dan untuk beberapa butir pasir lain yang terbawa di lipatan celana kami, dan pada kerutan-kerutan kulit kami.

Karang Bolong, 2 Muharom 1431 H.

Kamis, 17 Desember 2009

MEMBACA “KYOTO MONOGATARI”

membaca cerpen ini, terpikirkan betapa nisbi-nya pengetahuan yang kita miliki.... http://sukab.wordpress.com/2007/05/16/kyoto-monogatari/

cerita tentang penulis yg melihat seorang perempuan di tengah hujan salju....
hmmm... terbuat apa dari apakah kenangan?
hehe, aku merasa si penulis sedang bertutur tentang waktu yang berlalu, pengetahuan kita yang memang hanya segitu.. dan khayalan kita yang kadang seenaknya mendistorsi kebenaran dalam isi kepala...

“Terbuat dari apakah kenangan? Bagaimanakah caranya melepaskan diri dari kenangan, dari masa lalu yang tiada pernah sudi melepaskan cengkeraman kepahitannya pada masa kini?
Kenangan barangkali saja tidak selalu utuh: sepotong jalan, daun berguguran, ombak menghempas, senyuman yang manis, langit yang merah dengan mega-mega berarak dalam cahaya keemasan; tapi bisa juga begitu utuh ketika menikam langsung ke dalam hati seperti sembilu. Tidak mungkinkah kenangan yang pahit kembali sebagai sesuatu yang manis? Kenangan seperti diciptakan kembali oleh waktu, membuat masa lalu tak pernah berlalu, bahkan mempunyai masa depan untuk menjadi bermakna baru. (Seno Gumira Ajidarma)”


Apalagi ketika penulis tambahkan satu informasi tentang seorang perempuan yang ia kenal di Kyoto, namun sang penulis membuat informasi itu "menggantung".... semakin membuktikan bahwa pengetahuan kita memang sangat terbatas. Dan keterbatasan pengetahuan kita itu justru menciptakan kesadaran bahwa kita memang manusia... dan disitulah keindahannya.

"Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.
Sayang sekali, aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu."

Sabtu, 12 Desember 2009

tentang belajar dari "kesempitan"


"Hukum kapilarisasi air, dalam ruang sempit air justru bisa bergerak ke atas, mestinya dalam sempitnya kesempatan dan fasilitas, kita harus bisa menjadi lebih baik..."

Kalimat di atas, terfikir secara tiba-tiba sejenak setelah sholat dhuhur tadi siang. Entah pemicunya apa. Bisa jadi terhubung dengan kajian bulanan hari Kamis kemaren di kantor, dijelaskan bahwa: "selalu ada hikmah, di balik suatu musibah" "Kenangan buruk itu lebih awet tersimpan di dalam otak kita, karena itu musibah biasanya akan menjadi ilmu yang lebih mudah tertanam dalam otak kita"; tinggal bagaimana kita mensikapinya, bisa saja kita lalu kesal dan menumbuhkan perasaan tidak terima dengan keadaan, mencaci maki "nasib"; namun bisa pula, kita lalu berbenah, dengan sigap mengambil pelajaran dari setiap kejadian......

Kalimat tentang hukum kapilarisasi air di atas, lalu saya benamkan dalam "status" fb-ku, aku selamatkan dari virus lupa yang mungkin saja menyerangku nanti. Hingga akhirnya mendapat banyak respon positif dari teman-teman. Jadi lebih percaya diri, untuk menjelaskan secara lebih detil di blog ini. Semoga saja, suatu hari nanti... dapat aku jelaskan secara lebih komprehensif.

Matur nuwun, mas Andang... koment-mas di status-ku yang mendorong aku untuk mengkaji lebih dalam kalimat di atas.

Selasa, 08 Desember 2009

Rumah Kata; antara mimpi yang terukur atau sekedar angan2 kosong....


Mungkin dipicu oleh beberapa buku yang aku baca belakangan ini... ditambah beberapa obrolan dengan teman-teman, jadi terfikir tentang Rumah Kata; dengan latar belakang sebagai berikut

Landasan Naqli:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
(QS 2:31-33)

Landasan Kauni:

Menimbang bahwa generasi muda kita cenderung tidak pandai berkata-kata/ mendiskripsikan satu masalah padahal mendiskripsikan masalah itu hal yang penting dalam seluruh aspek kehidupan kita; misalnya dalam dunia kerja. Coba berapa jenis laporan yang harus kita buat. Berapa surat yang harus kita konsep... semua itu adalah tentang "mendiskripsikan" sesuatu...

Berdasarkan dua hal tersebut di atas... kami berharap bisa andil dalam menyiapkan pilar2 peradaban yang “exellence”, tangguh dan berdaya guna, salah satu cara yang bisa kami tempuh adalah dengan membangun sebuah Rumah Kata.
Tempat di mana kita diajak berkata-kata, presentasi, menulis; diawali dengan sekedar berani memperkenalkan diri... mengungkapkan isi hati; atau bermain-main dengan seni drama dan puisi...

demikian... latar belakang Rumah Kata ini kami bangun; Semoga...

Minggu, 06 Desember 2009

MERENCANAKAN PENDIDIKAN DENGAN 9 MATAHARI


Setelah membaca novel “9 Matahari” karya Adenita, jadi terfikir banyak hal. Beberapa hal tentang Pendidikan sebagai pondasi peradaban. Di buku itu, diceritakan betapa seorang mahasiswa yang pas-pas-an secara ekonomi, terus berjuang mendapatkan gelar “sarjana”. Dia mencoba menghidupi sendiri biaya pendidikannya. Tidak sekedar biaya kuliah, melainkan juga biaya hidupnya selama kuliah. Dalam cerita itu didiskripsikan secara gamblang, betapa mahalnya biaya mencetak seorang menjadi seorang sarjana. Muncul pemahaman, bahwa pendidikan memang butuh perhatian lebih. Kultur masyarakat kita masih sering meremehkan dunia pendidikan. Terlebih ketika hasil dari pendidikan kita tidak memuaskan... banyak sarjana yang “gagap” saat berkecimpung di dalam dunia kerja. Uh!! Banyak sekali yang harus kita benahi....

Awalnya Novel “9 Matahari” terkesan novel yang “biasa” banget. Namun ternyata, di dalamnya pekat makna. Banyak pelajaran-pelajaran penting dalam kehidupan muncul dalam percakapan tokoh-tokohnya. Ada Mami Hesti yang mengenalkan pada Matari tentang “Sekolah Kehidupan”; ada Om Nirwan yang menjelaskan filsafat ilmu pengetahuan; juga Arga yang memberi nilai 9 untuk Matari, angka sembilan yang penuh makna. 9 nilai yang di atas rata-rata, namun bukan sempurna, masih ada 10 yang kita kejar, sehingga kita tetap dinamis...
“Jangan pernah berhenti buat menggenggam matahari, Tar. Seperti nama lu, Matari, lu pasti memang diharapkan menjadi seperti Matahari. Matahari yang nggak akan bergeser kalu bulan dan bintang belum muncul. Matahari yang akan terus menerus memberi energi, kehangatan, dan cahaya buat alam semesta. Kadang dia dicaci kalau bersinar terlalu terik, kadang dia juga diprotes kalau tampak sayu dan sedikit bermalas-malasan. Tapi...nggak peduli apa pun itu, matahari selalu muncul setiap hari dengan segala yang dia punya. Dia juga harus berbagi peran dengan bulan dan bintang. Tapi bukan berarti matahari itu berhenti bersinar, justru dia lagi bersinar hangat di belahan bumi yang lain. Matahari yang mengajarkan banyak pada kita untuk terus berbagi. Supaya, kita benar-benar tahu peran kita dan bisa merasakan jiwa kita hidup...” (percakapan Arga dengan Matari, halaman 297)

Membaca buku ini, menjadi termotivasi untuk kembali menata ulang perencanaan pendidikan kita dan anak-anak kita. Memilihkan menu yang tepat kepada generasi mendatang (sebagai investasi peradaban) agar mereka mampu jalani kehidupan ini, karena sungguh...berganti masa, semakin berat amanah yang dipikul oleh manusia sebagai “pengelola” (baca: Kholifah) di muka bumi ini. Wallohu a’lam.

To Anis: terima kasih... telah merelakan buku ini dinikmati olehku sebelum sempat dirimu baca. Dari buku ini aku terinspirasi banyak hal, semoga itu menjadi amal jariyah-mu... amien. Jazakillah Khoiran Katsiran...

Selasa, 01 Desember 2009

belajar kelola gerak hati dari "Perahu Kertas" dan "Negeri 5 Menara"

Belajar beberapa hal di beberapa hari ini. Tentang perencanaan yang matang atas segala sesuatu, bahkan gerak hati. Hehe.. aneh memang, gerak hati yang selama ini aku jadikan dalil untuk lakukan hal-hal di luar rencana, ternyata perlu juga kita rencanakan. Karena indahnya hari, juga bergantung pada gerak hati. Padahal tanpa indahnya hari, tentu kita tidak bisa mencapai kebahagiaan, yang memang selama ini menjadi dambaanku di setiap penggal waktu. Ada dua buku cerita yang belum lama ini aku selesaikan. Yang keduanya aku selesaikan dalam hanya dalam dua hari untuk masing-masing cerita... yang pertama: “Perahu Kertas”-nya Dee, dan yang kedua “Negeri 5 Menara”nya Ahmad Fuadi. Keduanya tentu saja berbeda, namun entahlah karena aku baca dalam waktu yang berdekatan, jadi rasanya beberapa hal yang terfikir belakangan itu dipengaruhi dari dua buku itu.

Di “Perahu Kertas”, aku menikmati “kebetulan-kebetulan” yang indah. Tentang kekuatan cinta, yang didasari pada “patron with connect” (istilah yang sering dipakai mas Rain, entah makna-nya pas atau tidak), perasaan “nyambung” di setiap tema pembicaraan. Kugy yang pendongeng dengan Keenan yang pelukis. Yang layaknya dongeng, akhirnya mereka bahagia hidup bersama... setelah melewati lika-liku kehidupan, dengan beberapa kali terjadi benturan rasa. Bagiku Kugy dan Keenan toh hanya ada dalam dongeng, karena dalam kehidupan nyata, justru kita harus hati-hati dengan “perasaan nyambung” itu. Harus hati-hati dengang “lintasan hati”. Karena jangan-jangan itu lahir dari bisikan syetan.

Di “Negeri 5 Menara” aku menikmati dunia yang dulu pernah aku rasakan... dunia pesantren yang begitu “teratur” seakan-akan motivasi, rasa, kehendak... semua menjadi objek dari penataan sistem pendidikan di sana... jadi gerak hati itu memang bisa diatur. Hehehe.. gerak hati itu bisa direncanakan; dengan perencanaan yang matang, dan masuk akal; didukung dengan kemauan yang keras (“Man Jadda Wajada”) dan juga “disiplin diri” yang teguh. Pastikan akal sehat yang menjadi panglima.
Begitulah...

Selasa, 03 November 2009

BERTEMU DI SATU TITIK;

Kadang kita tergoda untuk menilai lebih suatu peristiwa. Bersikap "lebay" untuk hal-hal yang semestinya biasa.

Mungkin memang istimewa. Namun Istimewa itu bisa datang berulang kali, seakan "ajeg", muncul berkala dalam hidup kita. Lalu, jika memang terus berulang, mengapa pula kita harus heboh menyambutnya?

Sebuah hari, tiba-tiba saja menjadi istimewa, ketika dalam satu rentang yang tidak terlalu lama, bertemulah kebetulan-kebetulan yang indah. Pertautan makna hari, keindahan pendapat dan persepsi yang "klop" dan terasa "nyambung"; pertemuan banyak warna, yang dibangun oleh rangkaian detik yang melewati ribuan ruang,lalu tiba-tiba saja bertemu dalam satu titik, satu saat. Jendela itu saling terbuka; istimewa, terasa sangat istimewa. Namun jangan lupa, ini sering datang berulang, maka jangan heboh! jangan lebay....

Minggu, 25 Oktober 2009

10 tahun bukanlah sekejap masa...


menanam cinta, di kebun jiwa;
perlu perhatian dan komitmen;
pupuk dan benih terbaik,
adalah saling percaya dan gelora mawaddah.

saling memahami adalah menyatukan hati;
berharap ada dalam mimpi yang sama;
dan rencana yang matang,
lalui samaudra dengan hati lapang....

berharap aku ada di dalam-mu,
berharap ada dalam retina mata,
berharap ada dalam rongga jiwa,
berharap ada dalam gendang telinga....
hingga tak ada lagi, salah paham dan prasangka;

10 tahun, bukanlah sekejap masa...
cukup sebagai langkah awal,
untuk membangun tembok kokoh itu...
hingga gempa yang datang tak sanggup goyahkan.

bantu aku untuk mengerti diri,
sehingga mampu menata hati,
bahwa cinta memang harus selalu ada,
dan selalu tumbuh dalam dada; kita.

Selasa, 20 Oktober 2009

Lomba Pidato;

Secara bergiliran kami harus maju ke panggung (tempat tidur) dan yang lain duduk sebagai penonton (di samping tempat tidur); masing-masing harus berpidato, isinya:
- memperkenalkan diri,
- alamat tinggal,
- hoby,
lalu dilanjutkan menceritakan sesuatu ttg hoby tersebut.

Giliran pertama, Bunga yang maju ke depan. Gayanya seperti biasa, asyik. Sambil menyebut nama lengkap dan nama panggilan, ia melompat ke sana dan ke mari. Dia sebutkan alamat rumah, sambil bertanya dahulu, mau tahu alamat rumahku?? hehe..
Bunga sebutkan hoby-nya, yaitu "bermain sekuter", "tahukan sekuter itu seperti apa..?" lalu dia menjelaskan tentang sekuter, bentuk dan jumlah rodanya, bahkan bagaimana cara memakainya. Pidato itu ditutup dengan pura2 jatuh setelah menirukan gaya menggunakan sekuter... kami bertepuk tangan.

Giliran kedua, Haya yang maju. Lebih tenang. Dia awali dengan kata "Teman2" cukup komunikatif. Alamat tentu saja sama. Hoby-nya "menggambar". Kemudian Bunga yang saat itu sudah sebagai penonton, menginterupsi... "menggambar itu apa?" "Kok suka menggambar?" Haya menjawab, "menggambar itu asyik, karena kita bisa berkhayal..."
Pidato itu ditutup dengan "terimakasih teman2". Kami kembali bertepuk tangan.

Giliran terakhir, aku yang maju. Hiks, tentu saja lebih formal. Secara memang sudah tua, juga karena efek pelatihan John Robert Powers. Aku memperkenalkan diri, menyebutkan alamat, dan Hoby. Hoby-ku tentu bermain bola, lalu aku harus menceritakan tentang "sepak bola" baru beberapa kalimat, Haya merem sejenak, Bunga memperhatikan kakaknya, lalu ikut2an merem... aku bertanya, lho kenapa? Ngantuk ya? mereka mengangguk...

Hiks..
dalam perlombaan pidato tersebut, aku kalah. Aku tidak bisa membuat apa yang aku sampaikan menjadi menarik di depan anak-anakku. hehehe, ternyata untuk berbicara yang lebih komunikatif aku harus belajar banyak dari mereka. Bunga yang tetap centil, dan Haya yang tenang namun tetap komunikatif.
Terima kasih, anak-anakku. Kalian HEBAT!!

Rabu, 14 Oktober 2009

SIHIR KATA-KATA

Kita bisa saja marah, lalu mengatakan hal2 buruk tentang seseorang, sehingga menebarkan keburukan... padahal bisa saja, kita tahan dengan tidak mengatakannya, biarkan saja mengalir dalam sikap tubuh dan wajah, atau bahkan kita simpan saja dalam hati, itu pun cukup mewakili... karena kata-kata bisa menyihir kita; kata-kata buruk bisa menyihir kita menjadi buruk..

Kadang kita tergoda untuk mengubah keadaan yang tidak kita inginkan dengan mengatakan langsung tentang apa yang kita inginkan, tentang apa yang salah dari kondisi tersebut, mungkin justru sebaliknya yang terjadi; bukan perubahan yang kita dapatkan, melainkan penentangan dari lingkungan yang ingin kita ubah. Sekali lagi inilah sihir kata-kata. Pengungkapan masalah secara gamblang bisa jadi membuat masalah itu semakin rumit. Sebaliknya, akan menjadi lebih nyaman, ketika kita sampaikan hal-hal positif saja. Fokuslah pada kelebihan, pada hal-hal positif yang kita rasakan... "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." QS. Ibrahim ayat 7.

Kepada kegelapan janganlah kita kesal, jengkel, dan sibuk memakinya... lebih baik kita nyalakan lampu, niscaya kegelapan itu lari terbirit-birit.

Jumat, 09 Oktober 2009

waktu, dirimu, dan aku....

waktu adalah matahari dan rebulan yang bercakap dengan titah Tuhannya...
dan Cinta adalah percakapan lembut,
antara waktu dan rahsa yang hangat mengalir dalam darah,
berdenyut di seluruh tubuh; sebelum tertambat di lubuk jantung.

kuharap waktu, dirimu dan aku berhenti di ruang yang sama,
lalu kita coba hentikan keindahan itu
dalam diam yang ranum......

aku mencintaimu, dik....

Jumat, 02 Oktober 2009

Padang Berguncang;

Padang berguncang,
membuat gelombang dahsyat memukul karang jiwa....

Padang luluh lantak,
ciptakan denyut nadi lebih cepat berdetak....

Seperti ada belati,
terseret... merobek nurani;
ketika pada saat yang sama... ada yang nikmati upeti negeri ini...
dengan seenak udelnye sendiri;
berhotel mewah, berharap menu mewah, sambil tertawa berpura pura setia
padahal asyik berebut kuasa;

jijik!!

Padang merana,
sepi;
nafasnya tinggal satu-satu;
berharap tabik tangan kukuh saudaranya,
bukan sekedar basa basi
yang tetap tega saja ambil keuntungan dari semua derita ini...

Maafkan aku, Saudaraku...
aku berharap tidak lagi lalai seperti mereka;
aku berharap ada di sana, ada di dalam satu hati...
berpegangan kukuh, tegap berdiri, hadapi semua badai ini.

Tuhan,
sungguh aku pinta Pertolongan-Mu
lalui ujian ini, ntuk melompat lebih tinggi.....

Minggu, 27 September 2009

ini tentang Cinta;

ini tentang cinta,
yang menetes di kelopak mata, entah milik siapa...
pendar kilaunya ciptakan gambaran wajah bocah menangis,
di depan tumpukan sampah, sementara ibunya meringis tersandar di tumpukan kardus,
dari koreng di kakinya tercium aroma menyengat....
lalat lalat menciuminya hangat;

ini tentang cinta,
yang menetes di kelopak mata, entah milik siapa...
gemericiknya senada dengan jeritan gadis abnormal
yang tega diperkosa oleh pemuda bejad moral...
yang berdalih sistem masyarakatnya-lah yang mengajarkan padanya;

ini tentang cinta,
yang menetes di kelopak mata, entah milik siapa...
yang terus memaksa untuk bercerita, tentang canda dan tawa dalam sebuah pesta kita,
juga erangan ibu dengan 3 anak balitanya... meregang nyawa sesaat setelah menelan sebungkus nasi basi.

bercerita tentang harga diri yang raib terampas oleh ambisi berkuasa,
bercerita tentang harga diri yang lenyap terhapus silaunya harta dunia...
bercerita tentang kita, dunia dan air mata....

ini tentang cinta,
yang menetes di lubuk jiwa,
berbisik persis di dekat telinga nurani kita....
akrab sangat akrab.. dekat sangat dekat...
namun justru kita yang sering anggap ia tiada;

Selasa, 08 September 2009

musim badai

musim badai, banyak sampan terhempas....
aku ingin sampan kita selamat;
karenanya ijinkan hari ini,
aku kembali mencintamu sebagai mana mula-mula kita bertemu,
hingga makin kokoh tautan ini.
ketika tatap mata sederhana menjadi luar biasa,
ketika senyuman bisa hentikan detik berdetak....

ayo, terus kita kayuh dayung ini,
lalui samaudra ini dengan hati terikat pasti

Sabtu, 29 Agustus 2009

surat dari Kakak Haya untuk Bunda....

sesampai di rumah, aku temukan surat di almari.... dari Kakak Haya:

"Bunda, maaf... aku nggak baik jagain adik. Tapi aku tidak berantem kok, cuman adik coret-coret tembok, terus aku bilangin, aku dah coba mengelapnya, ternyata tembok jadi biru. Maaf ya, aku lalai. Maaf ya Bu... I Love U, Mom..."

hmm... anak tertuaku sudah belajar bertanggung jawab, terima kasih kakak Haya... terus belajar ya; I love you all...

Selasa, 25 Agustus 2009

untuk Ummat ini.... semoga...

Ketika "hampir2 tidak ada lagi realita, yang ada hanya persepsi" dan para pendusta itu menguasai media, Fitnah terhadap ummat Islam bertubi-tubi mendera; persatuan hati Kaum Muslimin terancam...

Teringat QS Al-Baqoroh ayat 8 sampai dengan 15, tentang orang2 munafiq....
8. Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
10. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
11. Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."
12. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
13. Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.
14. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."
15. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.


Semoga Alloh tetap hidupkan ukhuwah dalam hati kita.... amien...

Minggu, 16 Agustus 2009

bersama nafas-ku

ini tentang aku yang menjelma menjadi genangan
genangan air mata pada nampan di suatu sajian makan malam yang anggun;
hanya genangan saja, memantulkan setiap detail kejadian;
menangkap setiap penggal kata,
ada dunia yang mengerdil menjadi apartemen,
ada sayang yang moksa oleh cita-cita,
ada kepedihan yang ranum,
ada tangisan anak yang berharap permen “saat itu juga”
ada cinta dalam dada,
ada tatapan hangat namun tak berbalas,
ada canda yang terdengar sebagai sembilu; merobek hati,
mengubah kenangan menjadi monster

pada jingga itu terlemparlah hati seolah sampah,
pada tonggak tertambatlah ingatan tentang dosa –mengekal, menggumpal dalam kerak otak-

bayangan itu berlarian, terbang menuju awan
ketukan pintu, batuk tertahan, debar itu, sekelebat gelap,
dan ombak;
menampar dinding jiwa; dalam; sangat dalam
ciptakan ngilu di setiap sendi

bersimpuh, tertunduk dalam
upaya jiwa saksikan diri berserakan di lantai sejarah

senyuman, kata-kata, pura-pura dan segala tentang gempita
biarlah moksa
lebur
melumpur
dalam detak irama hati
yang nyaman, seirama dengan detak semesta

masa lalu bukan untuk ditinggalkan
melainkan beranjak bersama, menuju matahari pagi
menuju telaga biru, tenang, dan sampan elok menanti nanti- kita.

Jumat, 14 Agustus 2009

Surat untuk ananda tercinta...



Bekasi, 5 Agustus 2009

Untuk Ananda Tercinta,
Haya Rizqa Robbania.

Assalamu ‘alaikum warohmatullohi wabarokatuh,

Semoga tercurah segala nikmat dan hidayah Alloh SWT bagi kita semua. Satu hal yang selalu Bunda dan Bapak syukuri adalah kehadiran seorang Haya di keluarga ini. Semakin hari semakin tumbuh, men-dewasa. Tidak terasa sudah sembilan tahun berlalu, kini menjadi lebah kecil yang cerdas dan cantik.

Besar harapan kami, kakak Haya bisa tumbuh menjadi wanita sholehah, yang mampu menjadi pelita bagi keluarga ini. Segala cita-cita moga dapat teraih, hingga caHaya itu tidak hanya bersinar untuk keluarga ini, melainkan juga bermanfaat bagi bangsa, negara dan Islam.

Sun sayang.

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Bunda dan Bapak

Senin, 10 Agustus 2009

ikhlash itu absolut...

ada kekhawatiran; terjebak dalam pola fikir yang kelewat "sederhana" = melakukan sesuatu hanya karena ingin dapatkan sesuatu... padahal semestinya kita lakukan sesuatu itu karena memang "harus" kita lakukan; menuntut "hak" adalah langkah "cemen"... karena mestinya kita jalani "kewajiban" saja... hak adalah keniscayaan yang tak perlu dikhawatirkan; ikhlas itu absolut, pamrih itu kerdilkan otak dan hati..

Senin, 13 Juli 2009

Masa disOrientasi Sekolah

Masa Orientasi Sekolah;
Pagi-pagi, banyak anak-anak berdandan aneh-aneh. Pita warna-warni, kaos kaki berlainan warna, dan rumbai-rumbai raffia di pinggang. Mereka berangkat pagi-pagi, sebelum matahari terbit. Bukan hanya mereka yang sibuk, karena kedua orang tua mereka pun mesti bolak balik dari toko satu ke toko lain, mencari barang-barang yang aneh, demi agar anak mereka tidak mendapat hukuman dari panitia MOS.

Jika sekolah itu perangkat pendidikan kita, maka menjadi cermin bagaimana orientasi pendidikan kita. Jangan-jangan kita memang sedang mencetak anak-anak didik yang aneh, siap bertindak bodoh, taat tanpa memahami perintah. Anak-anak kita menjadi biasa dihukum dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal, hingga lahir dalam otak mereka bahwa hukuman itu tidak ada artinya. Institusi sekolah menjadi ladang pembantaian akal sehat, menjadi tempat bermain-main belaka…
Entah lah, jangan-jangan ini adalah Masa disOrientasi Sekolah.

Selasa, 23 Juni 2009

GEGURITAN


mentari senja; indah
seindah hati di hari ini
seindah hari di hati ini
bagaimanapun juga, ombak adalah dada ini
derunya ciptakan irama
dentumannya ciptakan nada
detaknya ciptakan ritme yang aneh
menelikung di setiap kelokan jiwa
merobek tiap2 luka
membuat irisan2 yang indah
yalah cinta yang sedang aku bangun
dengan batu bata cinta pula aku susun
; mengapa
karena cinta harus-lah tumbuh
seperti rumput di tengah padang
seperti virus dalam tubuh
seperti spam dalam e-mail kita
seperti luka panjang yang menyayat luka
luka oleh luka
aku mencintai-mu, itu pasti

Senin, 22 Juni 2009

tentang Mimpi;

Satu.
Bulan di atas awan, sama seperti malam-malam sebelumnya. Tenang. Dingin, seakan memandangiku, bahkan kadang aku merasa dihakimi olehnya. Malam ini, di bangku depan rumahku, aku balas menatapnya. Bulan tetap dingin, sesekali dia kirim angin malam untuk mengelus kudukku. Huh! Aku bahkan lalu melototinya. Dan bulan tetap dingin.

Akhirnya, kami putuskan untuk berbicara padanya. Aku dan bulan. Namun bukan saling berbicara, karena hanya aku yang berkata-kata, sedang dia tetap diam. Tenang. Dingin. Lalu aku bercerita tentang malam. Tentang gelap. Tentang angin yang gaduh. Tentang mendung yang menggantung, dan embun yang bergelantungan di ujung daun. Dan bulan mendengarkan, padahal dia jauh lebih paham malam daripada-ku. Bulan tetap tenang, namun kini tidak lagi dingin. Kami seakan kawan lama yang kembali jumpa, setelah terpisah sekian lama….

Bulan menatap, aku tetap lanjutkan bercerita. Ceritaku kini tentang mimpi-mimpiku. Tentang kerja yang aku pilih. Tentang keluarga yang kelak aku bangun. Tentang buku yang ingin aku tulis. Tentang angan-anganku untuk terbang menuju bulan…. Mendengarnya bulan tersenyum, nampak dari balik awan tipis yang menutupinya. Mungkin bila aku tidak dihadapannya, dia akan tertawa ngakak. Aku tahu, dia pasti akan tertawakan mimpiku. Dan aku mulai tersinggung. Harga diriku robek!

Bulan masih asik menahan senyum, namun aku kini tertunduk. Kehilangan selera lanjutkan cerita. "aku memang pemimpi…"

Dua.
Keesokan harinya, aku bangun terlambat. Sholat subuh jam setengah enam. Wah! Sebelum pergi mandi, aku melihat langit lewat jendela, mencari bulan. Dia sudah pulang. Yang tersisa hanya seburat awan remang, dan angin pagi yang menerobos masuk lewat celah jendela, menamparku….. dingin!

"Apakah aku memang pemimpi?"
Pertanyaan yang begitu menganggu. Bila aku mau jujur menjawab pertanyaan ini, mungkin jawabannya memang "iya", dan itulah masalahnya. Karena sejak malam itu, aku merasa malu dengan sebutan pemimpi. Pemimpi adalah pengecut, yang bersembunyi di balik dunia "mimpi" yang bisa dia kuasai, namun takut kepada dunia "nyata" yang memang tak mampu dia rengkuh. Aku harus buktikan, aku bukan pengecut macam itu. Harus!.

Dengan tekat itu, aku mulai perjuangan ini. "bagaimana menjadikan impian menjadi nyata?"
Adalah dengan melakukan, bukan sekedar membicarakannya. Ilmu hanyalah sia-sia, jika tidak dikerjakan. Jadi kerja adalah yang utama.
Secara sistematis inilah yang harus aku lakukan:
• Mengidentifikasi mimpi
• Mencermati kondisi riil yang sedang terjadi
• Mengevaluasi mimpi dengan kondisi riil yang sedang terjadi, menghasilkan daftar mimpi yang mungkin dicapai
• Menetapkan tahapan-tahapan pencapaian atas mimpi yang mungkin terjadi, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai mimpi tersebut
• Melakukan kerja sesuai langkah-langkah yang telah ditetapkan
• Evaluasi secara berkala atas capaian kerja

Tugasku kemudian, adalah melakukannya. Sehingga tidak sekedar teori, melainkan sebuah gerakan.
Mimpi menjadi nyata, ketika kita mulai mengerjakannya.

Tiga
Aku mulai bekerja. Membangun mimpiku jadi nyata. Aku menikahi seorang wanita. Membangun sebuah rumah. Dan dari rumah inilah aku letakkan pondasi untuk bangunan yang lebih besar. Sebuah bangunan yang kususun dari batu bata kepercayaan, semen cinta, pasir saling menghargai, dan kerangka besi iman dan keyakinan.

Di rumah inilah aku belajar demokrasi, belajar mendelegasikan tugas, belajar mendengarkan, belajar mengerti isi hati, belajar menghargai, belajar dihargai, belajar untuk hidup, belajar membuat hidup menjadi lebih hidup. Rumah ini aku jadikan kampusku. Dengan istri, anak, pembantu, lantai kotor, meja tamu, vas bunga retak, atap bocor, kunci pintu macet…. sebagai para dosenku. Dan aku-lah mahasiswanya.

Di sini aku juga menanam benih-benih mimpi baru. Yang aku tanam dalam hati istriku, anakku, dan dalam hatiku. Di kemudian hari, akan aku panen, dengan mewujudkannya dalam kenyataan. Dan aku menikmati siklus mimpi ini.

Minggu, 21 Juni 2009

keringat dan sebait kata

keringat dan sebait kata
semangat dan kerinduan;
teriakan-teriakan itu
sentuhan lembut pada luka
senyum cinta pada kemarahan
dan kata-kata tenang pada debur geloraku

sudahlah,
fokus saja pada tugas
sungguh teramat banyak tugas
dibanding waktu yang ada
abaikan rasa bila perlu…..
abaikan saja

dan pada senja itu,
aku letakkan kelelahanku
kerinduanku tumpah
aku pada-Mu

(puisi lama, ntah aku tulis kapan; namun belakangan aku menyukainya, sangat menyukainya, rasanya ia sedang menasehatiku... )

Selasa, 16 Juni 2009

berbekal lalu berbicara;

Berbicara dengan orang-orang, adalah kebutuhan untuk berekspresi dan menyerap informasi. Dalam sehari kita bisa mengucapkan ratusan kata, ratusan mimik wajah, ratusan senyum, ratusan kerlingan mata. Dari pagi hingga jelang tidur, mungkin ada banyak canda yang kita sengaja angkat dalam setiap bincang, atau mungkin sekedar merespon canda orang-orang di sekitar kita. Namun ternyata, semua itu tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi jiwa kita. Kita butuh sesaat untuk sendiri. Seperti pohon, batangnya butuh ruang untuk jelajahi langit, namun ia juga butuh akarnya untuk menghujam dalam ke tanah. Kita juga butuh waktu untuk merenung, berfikir dalam tentang sesuatu. Para ulama menyebutnya sebagai “tawazun”, bersikap seimbang.

Mungkin saja, semestinya begini: perenungan, diam diri, berfikir mendalam, adalah proses pembekalan diri. Seperti Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang memilih gua Hira sebagai sarana ber-kontemplasi, atau Buya Hamka dan Sayyid Quthb yang menjadikan penjara sebagai sarana mentadaburi Al-Qur’an secara bersungguh-sungguh, hingga lahir kitab-kitab Tafsir yang luar biasa. Atau bisa jadi kita, seorang hamba biasa, ketika mengkhususkan diri dalam satu waktu, untuk konsentrasi pada kebutuhan diri, untuk pelajari Al-Qur’an dan sunnah, hadiri majelis-majelis ilmu, tatsqief, atau tinggal di ma’had, sejatinya kita sedang berbekal; untuk kemudian di saat-saat yang lain, ketika kita harus berinteraksi dengan masyarakat, bercakap-cakap, berkerja di kantor, rapat, atau sekedar bercanda di pos RW, kita sebarkan “ilmu” atau bekal kita yang telah kita dapat dari perenungan kita, kepada masyarakat di sekitar kita.
Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah; begitupun amal tanpa ilmu adalah buta.

Senin, 15 Juni 2009

canda kita;

seperti tawa kita yang dahulu,
seperti kekecewaan2 itu,
seperti angan2 yang dengan enggan
tetap saja kita bangun
dahulu;

namun tetap saja,
waktu mengubah sekarang menjadi lampau,
mengubah mimpi menjadi kenangan.....

seperti kita dalam canda dahulu,
seakan berubah hari ini, menjadi canda, kita dan anak2 kita;
sedikit berbeda, namun tetap saja indah.

Kamis, 11 Juni 2009

kebutuhan untuk berkata dan didengar;

Kebutuhan untuk berbicara, untuk sekedar berkata-kata, sekedar didengar saja... nampaknya sederhana, namun jika tidak terpenuhi, kadang jadi sakaw juga...

Jadi sadar, mengapa facebook menjadi begitu digemari; kebutuhan untuk didengar, kebutuhan untuk membuang sampah hati.


Itulah gunanya teman, teman curhat, teman hidup....


Seperti ketika aku memilihmu, atau mungkin Dia memilihkanmu untukku. Besar harapan, aku bisa berbagi, bisa menyatukan isi hati, meleburkan karakter jiwa kita. Sehingga ketika dalam perbincangan kita kalimat-kalimatku terputus, karena bola matamu bergerak-gerak –nampak banget kehilangan selera dengan tema yang coba aku angkat- ada luka dalam hati, seperti gelegak badai yang tak sanggup keluar dari bendungan karang otakku....


Tapi semestinya aku paham, bahwa ada hal-hal yang memang pantas aku simpan saja dalam bilik otak-ku, untuk konsumsi pribadiku saja. Hmm... baru sadar, bahwa selama ini tidak cukup luas aku sediakan ruangan kosong dalam benak, untuk sampah-sampah ingatan dan impianku ini. Sebelum aku berhasil meng-upgrade folder otakku, aku mohon ijin, untuk menggunakan facebook, blog dan sekat-sekat lain dalam dunia maya untuk menjadi sarana sublimasi-ku.

Senin, 18 Mei 2009

tarian atau nyanyian... cukuplah;

bernyanyilah aku di satu siang;
sebagai bukti cinta pada matahari...
terik panggang otak-ku
mendidihnya ia, tumpah di tungku jiwa ini.

dan menarilah aku di satu senja;
yang gersang, kering, warnanya jingga
keindahan yang sendu
cukuplah senja ini mewakili rahsa yang gagap -mencari makna hari-

irama waktu, dan aku
bermain-main menunggu malam;

cukup ya.

Minggu, 10 Mei 2009

hujan;

Hujan;
aroma tanah tersiram air… betapa segar
aroma purba, saksi dari banyak cerita
entah mengapa, dalam siraman hujan.. muncul beberapa wajah
dari lembaran-lembaran kenangan lama

senyuman, kerutan di dahi,
wajah muram, bahkan tangisan…

Hujan;
selalu saja membawa keheningan yang aneh di bilik kepala
karena kenangan, apapun itu.. serasa begitu pribadi
tak seorang pun boleh tahu…
tak seorang pun akan mengerti
betapa pentingnya kenangan itu
bagi ku
bagi dahaga jiwaku.

Hujan;
berharap lama, hingga aku sempat tutaskan mimpi ini
mimpi kanak-kanak yang nyaris terlupa.

Jumat, 08 Mei 2009

CATATAN PERJALANAN; (jakarta -batam- jakarta)

Dalam perjalanan ini, aku bertemu pesona alam yang mengguyur bilik kenangan. Tentang awan, langit, mentari, udara kering, genangan air laut dan telaga, barisan pulau-pulau.

Berbicang pada orang-orang, bersinggungan dengan banyak warna jiwa, dapatkan banyak cerita. Terlalu banyak mungkin, untuk bilik ingatanku yang tidak seberapa luas. Hal-hal yang coba aku catat dari perbincangan itu adalah: kerja, tugas, setiap amalan selalu ada balasan, kesetiaan, kata-kata indah itu bisa merebut hati, benturan-benturan yang tak terbayangkan, persahabatan-rasa sayang, cinta-pengkhianatan dan kebencian.

Belajar dari semua itu:
1. Memahami betul bahwa setiap kita memiliki potensi berbuat dosa, setiap kita bisa saja terjebak dalam kesalahan langkah, lalu tersesat saat mencari jalan pulang; (QS. Asy-Syaam: 8 “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”);
2. Godaan untuk menyimpang itu ada di mana-mana, di setiap langkah hidup, di setiap detik menjelang satu senyuman atau tangisan, di setiap kata-kata yang terucap;
3. Dibutuhkan faktor eksternal yang mendukung, sekumpulan teman-teman yang bisa saling mengingatkan untuk tetap jadikan petunjuk Allah dan akal sehat sebagai panglima (QS. Al’Ashr:3 “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”);
4. Kita perlu membangun irama hati, sehingga nyaman-lah kita dalam menjalani hidup, tidak banyak benturan: membuat keras menjadi lembut, cinta-nafsu menjadi sayang-empati, mengubah marah yang menggebu menjadi tegas namun tetap penuh senyuman;

Kepercayaan kita kepada seseorang bisa jadi pemicu rasa sakit yang “luar biasa” jika tidak diikuti dengan pemahaman bahwa bagaimanapun juga kita hanya manusia biasa. Sebagai manusia tentu kita sama-sama membutuhkan mekanisme pengawasan diri;

- Pengawasan --> antisipasi pelanggaran
- Tarbiyah/Pendidikan (peningkatan pemahaman) --> adalah proses membangun kepatuhan.
Keduanya mesti berjalan bersama...beriringan.

Hmm... semuai ini lahir dalam benak, setelah mencoba “menyelam” di beberapa samaudra “kenangan” teman-teman.
Rasanya Allah memang telah menyiapkan skenario ini untuk aku jalani.
Alhamdulillah!!.

Kamis, 16 April 2009

tentang Waktu; (catatan sesaat setelah bergerak dari WIB ke WITA)


Menikmati hari ini, sambil berbincang tentang waktu. Tentang kesewenang-wenangan kita sebagai manusia terhadap waktu. Kita mengkerdilkan waktu, dengan mengikatnya dalam satuan-satuan yang sengaja kita ciptakan. Dalam detik, dalam menit, dalam jam....

Kenangan adalah salah satu yang lahir dari rahim waktu, dengan benih kenyataan-kenyataan yang menyatu dalam dunia di isi kepala kita. Pada awan yang sama seperti awan-awan lain yang pernah kita temui, pada pasir pantai seperti pantai-pantai mana yang pernah kita kunjungi, pada setiap wajah-wajah yang mungkin pernah kita temui entah di belahan dimensi yang mana.... aku catat kenangan-kenangan itu, dalam rongga kepala. Dalam hati-pun percikannya terasa. Kata-kata yang pernah terucap pada entah siapa saja yang pernah kita temui, seringkali terulang lagi, terulang lagi di gendang telinga... menjadi serupa jamur panu di kulit leher. Erat menempel, dalam dinding hati, dalam kulit benak.

Cinta, adalah salah satu yang lahir dari kenangan yang indah. Dia tumbuh subur di lahan hati, dengan bumbu suasana yang tenang, dan ditaburkan pupuk perhatian dan keterbukaan.

Dan waktu terus saja bergerak, tubuh kita terseret, mimpi-mimpi bergegas nyaris tertinggal, dan kenangan menjadi serupa beban, menempel erat di punggung jiwa. Padahal sampai hari ini-pun, aku belum sanggup memahami secara sempurna tentang makna waktu. Kata-mu: “waktu itu tidak mutlak”, mungkin itu semakna dengan kata Enstein tentang Relativitas Waktu. Entah-lah, mungkin kita memang tidak harus benar-benar memahaminya, namun tetap harus selalu siap mengikutinya, karena jika tertinggal, maka kita pasti akan diterjang olehnya... hingga renta, hingga moksa.

Berbicara tentang waktu, sungguh kita mesti berbenah. Teringat firman-Nya, dalam Surat “Masa”: bahwa manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka beriman, beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Seperti kita, dan dunia di sekitar kita. Kadang ngilu, ketika seorang yang dulu begitu dominan mengisi alam sadar kita, tiba-tiba saja “hilang”. Dia ada di sekitar kita, namun lenyap dalam alam sadar kita. Kadang pertemuan yang terjadi hanya senyap, tanpa tatap, tanpa cakap.

Selepas tengah malam, aku lepaskan saja kegelisahan ini. Kepada gelapnya langit, dinginnya angin malam, kepada sunyinya rentang waktu yang aneh, karena aku menghitung tengah malam dengan jam di waktu yang berbeda... dengan jam di sini: ini sudah dini hari. Entahlah mana yang benar, melihat waktu dari jam ini, atau dari gelapnya langit?

Selasa, 27 Januari 2009

Sebait kata untuk GAZA

aku melihat langit hitam itu kadang memerah kadang berpijar,
indah namun melahirkan geletar takut yang tak tertahan
karena percikan-nya ciptakan perih yang luar biasa,
karena dentumannya merobek gelembung jantung…..

rumah tinggal puing, masjid tinggal puing, sekolah luluh lantak
berlarian sembari menyimpan rasa takut itu dalam dada
tersimpan dalam dada; berharap tak nampak…
karena tak ingin aku ganggu cinta ini dengan benih-benih kepengecutan

Ayo tatap saja langit itu,
biarlah pesawat-pesawat iblis itu girang memandang kita sebagai sasaran tembak
biarlah saja;
toh ada cinta dalam dada ini yang tak akan kuasa mereka lawan….

Ayo bom saja kami,
tak surut selangkah-pun kami dari barisan ini…..

bayang-bayang hitam

Adalah rasa yang indah, kecenderungan untuk menikmati kesenjangan. Perbedaan adalah keindahan, ketika menciptakan perpaduan dua unsur yang jauh berbeda. Ketika gelap dan terang, cinta dan benci, kerinduan dan kesal, muda dan tua, lemah dan kuat, senyum dan kepedihan, gairah dan penat, tak peduli dan kehangatan.....

Berharap bertemu dengan kepedihan adalah salah satunya. Rindu, namun tahu pasti itu hanya menanti gigitan srigala.... ingin aku sudahi, namun justru berkembang biak. Mewabah dalam jiwa, serupa virus ganas, merusak sebagian file di isi kepala-ku. Hampir sepanjang hari, nafas, detak jantung, lintasan hati, penuh bayang-bayang hitam.

Dan dengan sayap-sayap kecil-ku ini, aku coba terbang....menuju rembulan di malam hari. Berharap detak-detak indah itu, semakin nyaman dengan irama hati ini. Mata dibiarkan terpejam, persilakan bayang-bayang hitam itu bermain di rongga otak. Indah. Mengerjap, seperti kepakan sayap kupu-kupu, seperti ombak yang patuh untuk tetap menampar karang. Batu karang yang kekar, dan bibir air laut yang konstan menggoyang....mimpi yang menghitam;

Kamis, 22 Januari 2009

HIJRAH

atas bukti kerelaan
perjalanan ini mesti dituntaskan
walau pedang terhunus menghalangi
walau badai gurun menampar hati

karena sungguh,
atas bukti ketaatan
bahaya jadi biasa
pedih perih jadi tak terasa

bukan karena takut akan ancaman
perjalanan ini dijalani
hanya bukti ketundukan atas ketetapan
Sang pemegang kendali hidup
Sang penguasa hati

hingga madinah menyambut gempita
gelora juang kembali membara
dalam hati nabi
dalam hati kita

api hijrah tak pernah usai
selalu ada dalam jiwa
sebagai kerelaan hati untuk berbenah
kapan-pun, di mana-pun

(Puisi lama, aku tulis atas pesanan teh Hilda untuk dibacakan oleh anak-anak Salwa dalam satu acara yang entah itu apa..)

pagi gerimis

Pagi gerimis,
Rintik air berdetak
Denyut darah bependar hangat
Mengalir
Angin sejuk berhembus, kibarkan dedaunan
Aku berharap cinta yang datang
Ungkap rahsia semesta
Dan ilalang bercengkrama,
Bunga rumput tumbuh penuh warna
Dan memang cinta-lah yang datang
Membawa damai
Yang jadikan gemuruh detak jantung jadi dengkur
Jadikan sakinah dalam dada…..

Terima kasih, Cinta…

Aku dan Awan-awan itu

pada angin malam yang berlarian dikejar shubuh,
aku titipkan pesan untuk langit
perkenankan aku untuk sesekali belajar terbang
atau sesekali bolehlah aku bersandar pada awan-awan itu

karena kata hari ini, kadang menjadi renta
dimakan oleh sejarah
oleh kenangan-kenangan yang nekat enggan pamit dari rongga kepala

jadi,sesekali bolehlah aku bersandar pada awan-awan itu.....

Selasa, 20 Januari 2009

satu folder untuk-mu

kembali membuka ingatan lama, tentang "Tarbiyah Ruhiyah", buku kecil karya Abdullah nasih Ulwan... buku yang membuka pintu hati-ku untuk meletakkan "Islam" dalam wilayah yang lebih penting dalam hati... (thanks, teh..)
ada mu'ahadah, muroqobah, mu'aqobah, muhasabah... lalu mujahadah...
jadi malu... begitu banyak pe-er yang belum aku selesaikan, berazam untuk lebih semangat... teringat satu hal... tawazunitas... hmmm.. keseimbangan dalam ritme haroki..

kalimat indah dari sang istri: "mas, tolong dong... buatkan satu folder untuk-ku (di hati-mu)"

ini menjadi materi muhasabah-ku malam ini... aku mungkin memang belum membuat satu folder khusus untuk-mu; akan aku perbaiki dik, bagaimanapun juga: aku membutuhkan-mu; sangat. bantu aku, dengan tetap ada di samping-ku dalam perjalanan dakwah ini.

Jazakillahi khoiron katsiro...

Selasa, 13 Januari 2009

Palestina di mata anak2-ku

Setiap mau jajan, Haya sibuk menanyakan ".. bunda, ini produk Amerika nggak??"
dia sudah paham, jangan-jangan ada uang kita yang ikut dibelanjakan untuk membeli peluru-peluru Israel yang ditembakkan ke anak-anak Palestina;

Lain halnya dengan Bunga: waktu menyambut kami pulang dari kantor, dengan penuh senyum kemenangan dia bercerita, "Bapak, ngerti nggak?? Israel salah nembak temennya sendiri... lagian mereka jahat sih... nembakin anak-anak palestina.."

Ini jelas hasil pengajaran Bundanya, tentang bagaimana iman diletakkan dalam hati, dalam emosi, dalam pemahaman mereka tentang ukhuwah Islamiyah... tentang saudara se-iman itu laksana satu tubuh... semoga, perasaan ini pula yang bisa muncul di hati para pemimpin arab... tidak ada salahnya mereka belajar dari anak-anakku; lebah kecil dan bunga mungil-ku.. aku bangga menjadi ayah kalian. sun sayang!!

Senin, 12 Januari 2009

Mengapa Yahudi Mengincar Bocah-Bocah Palestina?

Eramuslim; Senin, 12/01/2009 16:34 WIB Cetak | Kirim

Terjawab sudah mengapa agresi militer Israel yang biadab dari 27 Desember 2008 kemarin memfokuskan diri pada pembantaian anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Seperti yang diketahui, setelah lewat dua minggu, jumlah korban tewas akibat holocaust itu sudah mencapai lebih dari 900 orang lebih. Hampir setengah darinya adalah anak-anak. Selain karena memang tabiat Yahudi yang tidak punya nurani, target anak-anak bukanlah kebetulan belaka.

Sebulan lalu, sesuai Ramadhan 1429 Hijriah, Khaled Misyal, pemimpin Hamas, melantik sekitar 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafidz Alquran. Anak-anak yang sudah hafal 30 juz Alquran ini menjadi sumber ketakutan Zionis Yahudi. "Jika dalam usia semuda itu mereka sudah menguasai Alquran, bayangkan 20 tahun lagi mereka akan jadi seperti apa?" demikian pemikiran yang berkembang di pikiran orang-orang Yahudi.

Tidak heran jika-anak Palestina menjadi para penghafal Alquran. Kondisi Gaza yang diblokade dari segala arah oleh Israel menjadikan mereka terus intens berinteraksi dengan Alquran. Tak ada main video-game atau mainan-mainan bagi mereka. Namun kondisi itu memacu mereka untuk menjadi para penghafal yang masih begitu belia. Kini, karena ketakutan sang penjajah, sekitar 500 bocah penghafal Quran itu telah syahid. (sa)

palestina... palestina






palestina... palestina..

ONE MAN ONE DOLLAR TO SAVE PALESTINE





setelah aksi soliaritas Palestina pekan lalu, PKS justru dituduh mencuri start kampanye.... akhirnya aku tetep ikutan aksi lagi... masih bareng massa PKS, namun tidak lagi pakai bendera partai...
Kami coba buktikan, bahwa dukungan kami terhadap palestina murni dari solidaritas kami sebagai sesama muslim... tidak peduli bendera partai atau ormas.. ayukk.. bareng2 dukung Palestina dengan darah dan harta...

ONE MAN ONE DOLLAR TO SAVE PALESTINE...

Jumat, 02 Januari 2009

pks untuk Palestina...










li tatmainnal qolbi,
agar hati ini lebih tenang....
paling tidak aku sudah ikut andil dalam sekelumit perjuangan rakyat Pelestina...
hari ini aku ikut bergabung dalam Munashoroh Palestina bersama Partai Keadilan Sejahtera;

Palestina.... dengan jiwa dan darah-ku aku tebus tanah Palestina....

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...