Jumat, 30 Juli 2010

Dosa itu apa...

jelang ramadhan, kok jadi keingetan dosa.

Begitu banyak, mengental di bilik kenangan. Dosa-dosa yang konon saat itu terjadi, aku justru menikmatinya. Hiks... Menyesalnya di kemudian hari, dan nadam itu bisa menjadi begitu sakit.

Sebenarnya terbuat dari apa "rasa berdosa" itu? Mungkin berawal dari pemahaman atas pelanggaran, lalu pelanggaran itu justru terjadi dengan pengingkaran pada awalnya. Dan di kemudian hari, ketika kesadaran itu datang... perih yang menyayat hati. Lalu kebingungan untuk memperbaikinya. Mungkinkah masih bisa diperbaiki? dan kekhawatiran jika nanti datang lagi "panggilan" untuk melakukan dosa itu... aku tak sanggup menolaknya. Hiks...

Berharap bisa, temukan cara yang efektif menghindarinya, dan kekuatan untuk menolaknya saat ia datang menggoda.. Semoga.

Selasa, 27 Juli 2010

teranggurkan...

tawa sumbang di tepi pematang,
lelaki usang paruh baya....
kehilangan kewarasan,
setelah gempita kota menelantarkannya...
gelar sarjana jadi tiada makna;

menggelandang bertahun-tahun tanpa kerja,
berarti pula tanpa sandang dan pangan yang layak...
perlahan-lahan... raiblah kemanusiaannya.
menjadi kucing,
menjadi kucing garong,
menjadi tikus,
menjadi tikus got....

dan
semua berakhir di sini...
di tepi pematang,
lelaki usang paruh baya....
kehilangan kewarasan.

Jumat, 16 Juli 2010

Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang di suatu pagi





"Pagi gelap, seakan matahari telat terbit padahal ia hanya sembunyi di balik mendung; walau gelap, orang2 tetap bergerak cepat, jd ingat bagaimana dayang sumbi kalahkan sangkuriang, memutar balik hubungan casualitas, aktivitas pagi kita pengaruhi kokok ayam bahkan fajar terbit lebih dini...."


Itu tadi adalah status-ku di FB. Kata seorang teman, kok "gak nyambung". Bener sih... ini memang sekedar catatanku setelah berlarian mengejar omprengan. Yang terfikir olehku kok malah Dayang sumbi-Sangkuriang atau Roro Jonggrang-Bandung Bondowoso. Kenapa?

Karena di dua kisah itu, Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang sama-sama ingin mempercepat pagi dengan melakukan aktivitas pagi lebih dini, dan akhirnya ayam jantan berkokok, dan fajar pun terbit. Kan aneh, karena yang sebenarnya terjadi itu sebaliknya. Fajar terbit, ayam jantan berkokok, barulah kita mulai aktivitas pagi.....

Hehehe... semakin nggak jelas ya. Ini memang sekedar apa "yang terfikir" di suatu pagi. Antara waktu, matahari, jarum jam di alroji kita, dan aktivitas kita.... jika ternyata Matahari memang bergerak lebih lambat, akankah kita salahkan jarum jam kita atau gerak mataharinya? Lalu kapan sebenarnya jam 7.30 pagi itu? karena matahari atau jarum jam kita? Atau jangan2 ada Roro Jonggrang dan Dayang Sumbi di suatu tempat... dan dia berusaha mempercepat datangnya pagi....

[catatan ngaco, dari seorang pegawai; yang akhirnya telat datang ke kantor, sama telatnya dengan sinar matahari yang tertahan mendung tebal menggantung]

Kamis, 08 Juli 2010

Rumah Kata itu Rumah kita....


Ada fenomena, dalam suatu keluarga, setelah beberapa tahun berjalan bersama, kok tiba-tiba saja menjadi "garing". Suami semakin sibuk, dengan berdalih mencari nafkah, berharap mendapat cukup perhatian dari Istri setibanya di rumah. Sementara Istri pun berharap perhatian lebih dari suaminya, setelah capek mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga. Alhasil, keduanya bertemu dalam satu perselisihan. Atau jika tidak, mereka bertemu dalam kondisi yang sama-sama tidak menyenangkan. Muka cemberut, mata kuyu, bibir manyun... lengkap lah sudah.

Demikian halnya sang anak; terus mencari perhatian kedua orang tuanya... kadang sampai ia putuskan untuk berbuat "nakal" demi mendapatkan perhatian dari ayah ibunya, walaupun tentu.. perhatian itu berupa bentakan dan cubitan... mereka rela, yang penting dapatkan sentuhan dari orang tua mereka.

hiks..

Semuanya berawal dari komunikasi yang terganggu. Tidak ada sarana yang memadai untuk para anggota keluarga itu mencurahkan isi hatinya. Ibarat air, dalam selokan yang mampet, tentu saja meluap... menjadi marah, kesal, benci!

Jika anda masih ingat, bagaimana Rumah Kata dibangun, bagaimana lintasan kata dalam hati, dalam lesan, juga dalam otak kita... dapat dikelola secara serius. Ya di Rumah Kata-lah tempatnya...

Di manakah Rumah Kata itu? Rumah Kata ada di sini, di rumah kita. Ya, di rumah kita.

Teruslah belajar, bagaimana berkata-kata. Bagaimana mengelola kata itu dalam kehidupan di rumah tangga kita. Bagaimana pola komunikasi yang selalu mesra antar pasangan. Bagaimana orang tua bisa selalu merasakan apa yang dirasakan anaknya... hmmm
rasanya indah sekali.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...