Rabu, 26 Januari 2011

SAMARA;

Dimintain tolong oleh seorang teman, untuk menjadi pembawa acara di "Training Samara". Temanya "Tumbuh suburkan rasa cinta, perhatian dan romantisme, demi menjaga komunikasi dan keharmonisan keluarga". Agar lebih jelas, panitia mengirimkan proposal ke rumah. Saat ini proposal itu masih ada di tangan saya. Membacanya melahirkan kesadaran kembali, akan pentingnya peran keluarga dalam pembentukan peradaban masyarakat madani. Menyikapi tradisi atau budaya buruk yang berkembang selama ini, jika kita coba renungkan, semuanya bermuara pada kata "keluarga" sebagai bagian dari solusinya. Korupsi misalnya, tak kan terjadi jika seluruh elemen bangsa ini terbina dalam keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah.... demikian halnya dengan tindakan2 kriminal yang frekuensinya meningkat belakangan ini, semua itu terjadi karena kondisi keluarga yang selama ini tidak sejalan dengan jaminan hidup yang semakin buram. Teringat satu penggalan kalimat dalam film "Jamila dan Presiden" bahwa "... kemiskinan punya kekejian untuk melumpuhkan akal sehat..." atau dalam khasanah ilmu kita : "Kaadal faqru ayyakuna kufron" Sungguh kefaqiran itu dekat dengan kemiskinan. Ketidakpahaman orang tua terhadap pendidikan anak, didukung dengan himpitan ekonomi, mendorong orang tua bersikap keras terhadap sang anak. Lalu anak2 pun menjadi cenderung beringas... karena memang kekerasan di rumah mereka menjadi cukup alasan untuk mempraktekkan kebrutalan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

SAMARA; itu Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah.
1) Sakinah itu betah, nyaman, tempat yang tepat untuk berlindung, curhat, istirahat.....
2) Mawaddah, secara etimologis, bermakna gelora Asmara yang menggebu;
3) sedang Rahmah, itu kasih dan sayang.

Sudahkah ada Sakinah di rumah tinggal kita? Bagaimana respon kita, ketika mendapat Surat Tugas ke luar kota? Bahagiakah? jika bahagia itu karena memang berusaha mencintai pekerjaan mereka itu menjadi tidak masalah. Namun bagaimana jika bahagia itu merupakan justru karena bisa sesaat jauh dari keluarga. Hiks.. jika memang demikian maka, memang harus diakui, bahwa kita semua punya masalah; karena belum bisa membangun "sakinah" di rumah kita... Atau jangan2 ada yang merasa lebih bahagia ketika ada jadwal mabit, karena sekali lagi terbebas dari urusan2 rumah. hmm... jangan2 kita memang merasa lebih nyaman ketika ada di luar rumah ketimbang kumpul bareng keluarga di rumah? Wallohu a'lam.

Mawaddah itu gelora. Biasanya terjadi saat cinta pertama dulu datang mengetuk hati kita. Ada perasaan deg2an, cemas yang tidak jelas karena apa, gelisah, rindu yang menggumpal... hmmm banyak lagi deh... Mungkinkah perasaan itu kembali datang? atau perlukah? jawabannya adalah "mungkin" dan memang "perlu". Karena asmara itu energi yang luar biasa... dibutuhkan untuk para pekerja keras [termasuk pekerja dakwah]; tanpa gelora itu, kadang kerja dakwah jadi "gitu2 saja". Terkadang merasa [na'uszubillah min dzalik] bosan dengan suasana rumah. Nah, karena itulah kita perlu gelora asmara itu kembali datang. Kita perlu menyengaja jatuh cinta lagi kepada pasangan kita.... Wallohu a'lam.

Bagaimana dengan rahmah? Rahmah adalah kasih sayang. Adalah perasaan yang terlahir dari interaksi panjang. Ia berupa rangkaian dari perhatian, senyuman, perlindungan, tanggung jawab.... ini adalah bangunan besar yang harus ditata perlahan.... hmm, Wallohu a'lam.

Entahlah esok seperti apa acara training ini, tapi paling tidak sebelum acara itu dimulai saya sudah mendapat banyak inspirasi dari proposal yang disampaikan panitia. Kepada teman2 panitia [Bidang Kewanitaan DPC PKS Mustika Jaya] saya ucapkan "Jazakumulloh khoiron katsiro...."

Senin, 10 Januari 2011

catatan tanggal 10 Januari 2011

Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidung, menerobos hingga ke lipatan2 otak yg terdalam....

[# Celakalah aku yg disuguhi paras-paras korup bertopeng rupawan di gedung-gedung penyelenggara negara.
Ah, tapi kenapa dipusingkan? Bukankah negara bangsa ini hanya imajinasi kolektif? -mas Edhie-]
[* hiks, ketenangan siang ini... menggelegak kembali, tersulut kemarahanmu, bung... Namun ini memang pantas dipusingkan, karena imajinasi tidak layak didahului oleh kata "hanya"... ini perkara isi kepala, dan layak untuk diperjuangkan; dan yakinlah bung, pemikirian tidak akan pernah mati....-aku-]


Sebutir debu menempel di kaca jendela kantorku, ia sedih betapa pemahaman akan hukum dan keadilan itu justru menorehkan luka, betapa harapan terbetot jauh dari kenyataan... Dan air matanya membuat ia terpeleset, kembali dihempas oleh sang angin.

Dan bagaimana senja menyapa kita? Ia dan robekan warna merah di langit itu, menawarkan antibiotik untuk gelisah hati, dan anginnya sedikit nakal, mencolek daun telinga, seperti hendak paksakan kita untuk mendengar cerita pilu tentang bangsa yang kehilangan rasa malu....

Jumat, 07 Januari 2011

kematian macam apa?

Menonton film "Click" jadi terfikir, di sepanjang hidup kita... ada satu adegan penting yang pasti kita lakoni; yaitu "kematian". Kematian apa yang akan kita jalani nanti?

Mungkinkah kematian kita nanti adalah kematian yang tenang di tempat tidur, saat kita tidur... sehingga keluarga kita baru mengetahui kematian kita di esok paginya... Ataukah kematian kita itu di jalan raya, saat kita mengemudi... atau terbujur kaku di ranjang rumah sakit, setelah melewati rawat inap yang panjang; dengan banyak selang dan botol infus di sekitar kita...

Jika boleh berharap, mungkin kematian yang kita jalani nanti adalah kematian yang indah... misalnya mati kelelahan saat lakukan kerja-kerja sosial; atau mati di depan kelas saat mengajar anak2 pemulung.... atau terbaring lemah bersama keluarga miskin di bawah jembatan... Lebih indah lagi mungkin, kematian di dalam perang membela Agama ini. hiks!...

Kematian macam apapun itu, pasti akan menjadi adegan yang paling "seru" dalam hidup kita; karena ia hanya terjadi sekali, dan itu pun di akhir hidup kita.

Semoga kita bertemu dengan kematian yang baik di esok hari. Amien...

Wallohu a'lam.

Kamis, 06 Januari 2011

mencerap rasa pada setiap warna

Hari ini, aku mencoba mencerap rasa pada setiap warna [setelah kemarin rasa pada setiap bunyi]; warna yang terhimpun dalam retina mata, aku urai perlahan... dalam satu kali silau sinar mentari saja, ada beragam warna... kuning perkasa, biru penuh pesona, hijau teduh, juga coklat muram... bahkan bayangan tangkai kaca mata itu menerobos dalam frame kamera mataku... ciptakan garis lembut, di ruang atas.

Bahkan saat kelopak mata aku pejamkan, masih saja ada warna-warna indah. Di tengah gelapnya, masih ada gurat2an darah dalam kelopak mataku... guratan2 lembut, namun tetap saja... terbitkan kelezatan rasa yang luar biasa.

Subhanalloh... dari rasa warna ini saja, rasanya aku semakin mencintai-Nya.

catatan di satu hari yang lebay....

pagi
Berharap menjadi embun, pantulan cahaya mentarinya menjadi hiasan pagi; kesegarannya meredam emosi; dan tetesannya dari ujung daun menjadi inspirasi di awal hari ini.... Semangat Pagi!!!

jelang siang
Mencoba mengecap rasa dari setiap bunyi; gemericik air kran, deru AC, denting logam (mungkin sendok) yang beradu dengan piring, batuk2 tertahan, tawa yang samar... Dan lantunan nada sederhana, dari dawai piano yg sedikit sumbang. Aku paksa semua tetap meng-ada di isi kepala.
[lalu kesalahan dalam mengecap rasa itu... timbulkan luka!]
[Bunda Ismayani Susana: ada apa nih dik... rangkaian kalimat yang cukup rumit bagi mbak... hikhik]
[nggak papa kok mbak; terinspirasi oleh satu hadits "dzaqo tho'mal imani... " bagaimana iman itu dinikmati secara "rasa lezat" seperti makanan; bagaimana jika setiap bunyi pun kita nikmati dengan cara yang sama? begitu juga pada setiap warna... hmm.. kuliner yang aneh bukan?]


siang;
persaaan bersalah itu mengunyah ubun2.....

sore
Untuk beberapa hal yang ingin aku buktikan, aku tantang matahari senja, beradu cepat..... Aku coba tidak peduli, bahkan saat awan berpihak padanya, terus berlari menjejak bumi, lupakan isak tangis itu, abaikan gumpal sesal itu.... Terus berlari tinggalkan perih luka.

lewat tengah malam
Di tengah aroma tanah basah, pekat harapan itu perlahan mencair, tersadar oleh kelemahan yg ternyata memang bagian dari bayangan, jd untuk apa sibuk menanggalkannya? Ketika ada cahaya, tentu akan ada bayangan.

[ini adalah rangkaian statusku di fb, di satu hari yang lebay]

Minggu, 02 Januari 2011

Masih tentang tertib berfikir (marotibul fikri 2)

Awalnya ini terfikir saat mendengar lagu "kupu2 malamnya" titiek puspa, nada dan liriknya indah. Tapi jika kita cermati, terasa ada kesalahan dalam tertib berfikirnya. Diceritakan ttg derita seorang pelacur. Betapa ia dicaci dan dicela. Pada akhir lagu disampaikan semua itu dengan dalih "menyambung nyawa"... Kayaknya sih memang biasa saja... Tapi apa ya boleh seperti itu? logika yang kita pakai, kita harus bebaskan dulu dari miskin dan rasa lapar, baru bicarakan "iman". Lho, padahal betapa banyak sahabat rosul dulu yg demikian miskin namun tetap teguh memegang keyakinan mereka. Bilal bin rabbah misalnya, dia seorang budak yg itu berarti seorang yg ada dalam puncak kemiskinan, karena bahkan dirinya pun tidak dia miliki. Namun ia teguh menjaga keimanannya....

Mungkin, kita harus mendudukan masalah2 sosial kita dg cara pandang seperti ini: mulailah dengan iman, baru kita melangkah menyelesaikannya. Karena dalam Islam telah banyak disediakan sarana2 penyelesaian masalah2 sosial. Mekanisme zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf misalnya. Jadi jangan dibaca terbalik, kenyang dulu baru bicara iman. Yg lebih parah, seringkali ada yg bilang: "jangankan yang halal, yang haram aja susah dapatnya"

wallohu a'lam.

Pantai bulakan, awal 2011.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...