Sabtu, 28 November 2015

Sungkem ibu

Demikianlah di setiap perjalanan kita mungkin butuh sejenak rehat pada oase itu. Seperti perigi rindu, tempat semula kita bermula. Di sana kita bisa sembuhkan dahaga, untuk lalu hisap energi baru.

Di sana pula, kita mengulang banyak hal, untuk membaca lagi peta, karena mungkin kita mulai lelah pada simpang siurnya jalan. Pilihan yang terlalu banyak kita temui, dan telah beberapa kali kita merasa salah memilih. Dengan mengulang pada titik awal kita bermula, mungkin kita akan temukan pangkal keruwetan itu.

Dan untuk mereguk perigi rindu itu, juga membaca ulang peta itu, hanya dengan cara sederhana, yakni bertemu dengannya. Duduk bersama, dan buat ia tersenyum. Dia pintu surga kita, karena surga ada di telapak kakinya. Ibu.

Sungkem ibu, November 2015.

Jumat, 27 November 2015

Alarm Hati (lagi)

Jika jiwa ini serupa genangan maka ia teracik atas "fujur"dan "takwa". Dua hal yang bertentangan. Pengingkaran dan  ketaatan. Keduanya melengkapi spektrum kita sebagai manusia. Dan secara fitrah, secara asasi, jiwa berasa tenang saat kita taat. Dan sebaliknya saat bermaksiyat jiwa meronta kesakitan. Ini terlihat pada kehilangan rasa bahagia para pelaku dosa.

Alarm hati yang menjerit bising saat kita lakukan  kemaksiatan. Jeritan alarm itu mengganggu kenyamanan hati. Dan akan berhenti jika kita berhenti lakukan kemaksiatan itu.

Masalahnya adalah, terkadang kita bodoh untuk menjadi pembelajar hingga rela lakukan pengulangan pengulangan atas kesalahan kesalahan kita. Dan keledai pun menjadi lebih baik dari kita.

Menyesal? Harus. Tapi jangan sekedar menyesal.  Beranjaklah.  Beranjaklah jika kau memang ingin bahagia.

Poetoe, 27 November 2015.  

Minggu, 22 November 2015

Rasa kalahkan nalar.

Mungkin kau juga pernah rasakan, ketika berita tak lagi menarik perhatian kita. Saat tak lagi ada percaya atas objektifitas berita, kita jadi menerima berita apapun dengan penuh prasangka. Memang prasangka adalah virus yang hebat untuk melumpuhkan nalar. Fakta menjadi tak berarti, namun demikian pula sebaliknya. Saat ada cinta, fakta pun berubah nilai. Terkadang hal yang sangat sederhana menjadi demikian berarti. Detail yang biasa kita abaikan berubah menjadi simbol yang sakral.

Begitu pun saat benci menjalar, kita akan demikian bersemangat menyebarkan informasi yang mendukung misi kita untuk meyakiti yang kita benci. Sebaliknya saat cinta tumbuh kuasai hati, maka kita akan sibuk menggunakan semua fasilitas untuk menebarkan informasi atas rasa cinta itu.    

Demikianlah hati membuktikan peran pentingnya atas akal.

Poetoe,  November 2015.

Rabu, 18 November 2015

memaafkan?

Dengan apa sebenarnya kita basuh luka ini? Apakah cukup dengan sekedar melupakan?  Ataukah kita harus benar-benar melepaskannya?

Jika mau kita baca perlahan atas apa luka ini tergoreskan, mungkin kita akan menemukan kata-kata pedas yang terayun tajam, atau bahkan memang benturan fisik yang benar-benar melukakan. Perihnya hati juga pedihnya luka pada sekujur tubuh.

Luka badan bolehlah segera kita obati, tapi bagaimana dengan luka dalam hati? Melupakan itu tak akan mudah, karena demikian dalam luka ini. Bagaimana dengan melepaskannya? Melepaskan itu serupa memaafkan, terbayanglah betapa sulitnya.

Saat kata "memaafkan" terucap, yang terbayang justru peristiwa menyebalkan itu. Lalu bibir segera terhenti. ... batalkan hati. Memaafkan memang indah namun tak mudah.

Namun saat berhasil tulus memaafkan, maka yang akan didapat adalah kelegaan yang luar biasa. Kemenangan atas diri. Memaafkan adalah bukti kemenangan kekuatan hati untuk menaklukkan ego.

Selasa, 17 November 2015

Alarm Hati

Dear hati...
kalau aku mulai tenggelam .. bunyikan alarm ya.

Tapi alarmnya bunyi malah jadi bikin merem yaa

Padahal waktu merem kadang bayangannya jadi lebih jelas.

Itu karena dalam pekat.. warna yang baru dilihat justru terekam jelas..

Jika begitu, aku mau tetap merem saja.

Jumat, 13 November 2015

Pohon harapan

Terkadang pohon sengaja gugur kan daunnya di saat kemarau panjang. Tapi tak lalu ia mati, ia hanya kurangi bebannya, agar ia dapat bertahan sampai kemarau usai.

Ia yakin saat hujan turun daun2 baru akan segera tumbuh.

Harapan yang terpelihara adalah kunci untuk tetap bertahan. Karena harapan yang terkubur, pastilah akan lahirkan harapan baru di sisi lain. Terkadang kita yang tak melihat sisi lain itu. Lalu terjebak pada penyesalan dan putus asa.

..... tentang harapan.

Cerita tentang dua hati

Ini tentang dua hati yang terpisahkan oleh dua tubuh yang berbeda. Namun keduanya merasa dulu berasal dari satu hati. Karena demikian sakit saat jarak ditambahkan. Juga saat batas norma yang dengan dingin menebaskan jeda.  Bahkan jarak dan norma seolah duo yang kompak saling bekerja sama mencegah dua hati itu menyatu. Saat norma mulai melunak,  justru jarak mengembang,  hingga pertemuan tentu menjadi kelangkaan. Demikian halnya saat jarak mendekat justru norma yang menebal. Sehingga terkadang keduanya duduk berdekatan namun tanpa ada percakapan personal yang diberi kesempatan. Hanya duduk diam. Sesekali tatapan beradu pandang. Tanpa kata. Dan kedua hati berusaha menyapa dalam diam. Berusaha pancarkan sinyal agar terbaca oleh pasangannya. Biasanya lali senyum tipis sebagai tanda telah mengertinya pesan sepi itu.

Pesan dimengerti begitu saja. Tanpa ada kesempatan klarifikasi atas kebenarannya. Awalnya memang mereka berdua galau, berharap bisa meminta penegasan atas rasa masing-masing, namun tak ada ruang dan waktu yang mendukung. Klarifikasi itu hanya menjadi harapan saja. Tersisa hanya diam. Hanya diam.

Namun diam ini justru menjadi pupuk yang baik untuk tumbuhan rasa ini. Karena ia menyuburkan. Hingga menumbuhkan rasa ini menjadi tidak sekedar penaklukan, penguasaan, kepemilikan dan hasrat sekedar untuk selalu bersama. Melainkan tumbuh menjadi lebih dewasa, keinginan untuk menjaga, harapan bahagia bersama, memahami, meleburkan diri dalam ingin yang sama.

Demikianlah dua hati itu masih terpisahkan, namun jarak dan batas tak melemahkan energi mereka, justru sebaliknya, menguatkan, menjadikan keduanya sebagai sumber energi baru. Yang tak berkesudahan.

#tentangduahati

Kamis, 12 November 2015

Alasan atas kenakalan

Saat itu aku memang seringkali lakukan kesalahan  juga. Bahkan beberapa kali pun aku kena sanksi atas kesalahan itu. Dan aku tetap menjalani tanpa kegalauan  bahkan... pernah aku dihukum dengan harus membuka baju dan membantu pekerja bangunan di sekolahku yang waktu itu memang sedang renovasi. Rasanya guru berikan hukuman itu untuk mempermalukanku. Namun aku menjalaninya dengan tetap percaya diri. Saat itu aku selalu punya alasan atas apa yang aku lakukan. Iya... rasanya itulah yang membedakan. Mungkin aku memang kehilangan.

"Kenapa kamu bolos? "
Jawabku "saya sedang belajar bu?"
"Belajar kok bolos."
" saya sedang belajar bolos. Setelah ini saya siap kok belajar terima hukuman."

Saat itulah aku bisa jalani hukuman dengan suka rela.  Aku selalu punya alasan, bahkan untuk kenakalan kenakalan itu.

Catatan di sekolah doeloe.

Rabu, 11 November 2015

Tentang rasa itu

Seperti mata yang genangannya selalu saja bisa sebagai tempat rehat yang terindah. Saat se lelah apapun  rebah di sana membuat enyah semua lelah.

Seperti wajah yang merangkum semua. Hingga saat menatapnya kau tiba-tiba temukan semua jawaban. Membuat wajahmu ikut berbinar, lalu saat kau berbalik melepasnya kembali pada senja, langkahmu menjadi berenergi.

Dan seperti layang layang yang paham, bahwa tali kendalinya telah tersangkut pada senyum itu, sehingga hari rasanya tak mungkin dilanjutkan tanpa sejenak kau kunjungi ia. Walau hanya sesaat.

Demikianlah, rasa itu dengan pintarnya mengubah semua jadi indah.

Indah, sangat indah.

Poetoe, 11 November 2015. 

Selasa, 10 November 2015

Bass

Bass dalam komposisi lagu, menjaga irama dengan nada nada rendah. Berkeserasian bersama suara drum. Menghentak menjaga barisan nada juga emosi dari lagu. Saat menikmati satu lagu, aku sering membiarkan diri terseret dalam arus suara bass. Meliuk-liuk di kedalaman birama, seperti detak jantung yang pasti berdentam walau terkadang tak terasai.

Terkadang hinggar bingar dunia terlalu gaduh untuk kita cermati satu demi satu.  Kita butuh panduan untuk tetap bertahan pada arus utama. Terpejam menjadi satu cara. Terpejam dalam. Hingga gelap pekat penuhi benak. Lalu memegang kendali nada pada suara bass itu. Sesekali mungkin akan terlempar ke kanan dan ke kiri. Tak mengapa, yang pasti jangan sampai terlempar terlalu jauh. Atau lalu tersesat dalam rimba birama.

Pedoman. Peta. Iya, kita memang butuh peta dalam jalani hidup. Terlalu banyak suara, gebukan drum, denting piano, raungan gitar, lengkingan melodi, untaian syair, teriakan penonton, terlalu banyak lampu terang, terlalu pekat oleh benturan, terlalu banyak informasi sampah, terlalu banyak marah, terlalu banyak sia sia. Jika lelah, kita memang butuh rehat. Agar saat kembali melangkah, kita bisa kembali fokus, membaca peta dengan benar.  Semoga tak sesat, semoga tak hilang arah.

Aamiin.

Poetoe,  sehari setelah hari pahlawan di tahun 2015.

Kamis, 05 November 2015

Lukisan Jelaga

Malam ini aku siapkan kanvas. Karena memang aku benar benar butuh sarana menggambarkan kemuraman hari-hari ku.  Bukannya mau mengeluh, namun ini hanya butuh ruang ekspresi sederhana. Sebagai selokan kecil atas gelisah yang butuh ruang. Maka kuambilah jelaga. Aku goreskan perlahan. Ini tentang rasa bersalah ini tentang batas seharusnya yang terlanggar.

Hasilnya memang hanya lukisan sederhana, cerita yang tertata dengan tak sempurna. Tak terbaca dengan mudah, karena goresannya terlalu gamang. Tapi kumohon tetap lah kau baca. Lalu berikan aku masukan. Aku butuh kata pelipur.  

Setelah kurasa layak, aku pandang berlama lama lukisan jelaga itu. Aku seperti memandang cermin. Begitu berantakannya aku. Wajah pendosa yang masih berharap doa doanya dikabulkan. Kucari dalam lukisan itu, setitik genangan di ujung kelopak mata. Genangan yang dapat kugunakan untuk basuh gelisahku, hapus resahku. Air mata. Iya, air mata.

poetoe,  5 November 2015

Selasa, 03 November 2015

Apa yang bisa membuat lebih tenang (jilid dua)

Terbangun jilid dua. Setelah tadi terbangun, lalu coba memanjakan diri, berpikir tetang bagaimana agar bisa lebih tenang. Ternyata masih bisa lanjutkan berbaring.  Mencoba tidur. Sekejap lelap. Namun masih sama. Mimpi yang detail dan berjejalan, lalu terlonjak kembali terbangun.

Kali ini yang tiba-tiba terpikir adalah "mu'aqobah". Memberi sanksi atas diri atas kesalahan yang kita lakukan. Ini tradisi sahabat Rasul dulu. Tentu sanksi itu berupa hal yang dihalalkan dan positif. Seperti Umar bin Khattab yang mewakafkan kebunnya  karena kebunnya pernah melenakan ia dari seruan azan.

Mungkin cara "mu'aqobah" ini bisa menjadi salah satu cara menenangkan hati.

Jadi teringat buku kecil yang pernah mencerahkanku dulu, buku pinjaman dari seorang teman. (Seorang yang tak akan aku lupakan jasanya karena menarik aku kembali ke jalan yang benar.) Judulnya "Tarbiyah Ruhiyah" karya Abdullah Nashih Ulwan. Akhirnya aku memilikinya. Isinya sederhana namun dalam dan praktis. Tentang jalan menuju taqwa:
1. Mu'ahadah : mengulangi janji kita sebagai hamba
2. Muroqobah: mendekatkan diri, dan selalu merasa terawasi.
3. Muhasabah: berhitung diri, instropeksi
4. Mu'aqobah : menghukum diri
5. Mujahadah : penuh kesungguhan.

Semoga kembali mengingat materi buku ini menjadi pintu solusi atas sulit tidurku.  Aamiin.

Poetoe.  Masih dini hari. 4 November 2015.
   

Apa yang bisa membuat lebih tenang

Sebenarnya apa yang membuat bisa lebih tenang?

Pertanyaan buatku sendiri, setelah beberapa hari didera susah tidur yang aneh. Selain itu, jika tertidur pun aku bermimpi yang saat terbangun pun aku teringat detail mimpinya. Jadi rasanya tidurku  pun tidak lalu menjadi sarana istirahatku yang berkualitas.

Seperti akhir pekan lalu, aku bermimpi tentang satu adegan saat aku harus lakukan kunjungan dalam rangka tugas. Mimpinya detail, bahkan percakapannya aku ingat sampai terbangun. Sempat ada yang aku edit, karena ada kalimat yang kurang pas. Anehnya kejadian esoknya sama persis, posisi duduk, dan percakapannya. Tentunya aku sudah gunakan kalimat edisi revisi. Seperti de ja vu.  

Malam ini aku terbangun dini hari, dengan mimpi sebelumnya yang tak terlalu penting adegan-adegannya, namun tetap saja membuat terbangun.

Kuputuskan tak lalu memaksa kembali tidur. Aku lanjutkan saja dengan meluangkan waktu ini untuk sejenak berpikir mendalam tentang apa yang sedang aku alami. Tentunya dengan melibatkan-Nya.

Pertanyaan di atas yang aku ulang - ulang.

Sebenarnya apa yang membuat bisa lebih tenang?

Beberapa jawaban aku kumpulkan. Setiap jawaban aku berikan lagi pertanyaan: Benarkah?

Tentu dengan mempertimbangkan apa yang belakangan ini aku kerjakan.  

Apa saja alternatif jawaban itu, sementara tak aku uraikan di sini. Takut tulisan ini menjadi semakin serius. Tapi paling tidak, ada benang merah, atas keresahan dalam pola istirahatku dengan pelanggaran-pelanggaranku atas daftar "yang seharusnya" aku lakukan. Setiap pelanggaran itu melahirkan perasaan bersalah, perasaan bersalah itu seperti alarm tubuh, berdenging meraung raung membuat tubuh belingsatan. Ada dua cara menghentikannya,  pertama: bersegera beranjak, tinggalkan pelanggaran- pelanggaran itu sampai alarm itu berhenti berbunyi. Atau cara kedua: ubah setting alarm itu, hingga tak lagi berbunyi sekalipun  pelanggaran itu aku lakukan.

Aku tahu, apa yang seharusnya aku pilih. Tapi aku tak akan sampaikan di sini. Maaf. Bukannya tak mau, hanya mungkin memang belum waktunya.

Poetoe. Dini hari 4 November 2015.

Senin, 02 November 2015

Setelah hujan akhirnya turun

Tentang hujan yang sudah lama ditunggu.

1.
Pagi, setelah semalam hujan, aku mengingatkan istriku "sudah bawa payung, dik?" Dia menggeleng,  lalu aku tawarkan payung di tasku.  Dia tersenyum, "jadi selama ini kamu bawa payung di tasmu? Walau kemarau? "
Aku mengangguk.  "Yup. Bukankah konyol kita berharap segera hujan tapi kita tak bersiap menyambut hujan?" Bunga anak kedua, berbinar. ...  berdiri, "Bapak benar... " sambil ngajak toss.

2.
Masih pagi yang sama, saat berkendara bersama istri, di jalan melewati jasad tikus yang mati tertabrak.  Banyak. Kalau tidak salah hitung ada empat jasad. Serem. Tubuh mereka remuk. Mengapa justru setelah semalam hujan mereka banyak yang mati di jalan?

Apakah semalam ada pesta para tikus, sehingga mereka mabuk dan lupa diri lalu menyeberang ke tengah jalan?
Ataukah hujan mungkin bukan hal menarik buat mereka karena lalu rumah mereka di got di penuhi air, mereka keluar dari got pergi ke jalan lalu justru maut menjemput?

Entahlah.... karena aku bertemu dengan mereka pagi ini sudah dalam keadaan menjadi mayat.  Tapi jika pun tidak, toh aku juga belum berhasil pelajari bahasa tikus...

Jadi sudah lah.  Biarkan ini jadi pertanyaan dan asumsi saja. Semoga kematian mereka pagi ini kematian yang terindah bagi mereka.

Aamiin.

Bekasi Jakarta.  3  November 2015.
Poetoe.

Ganti Nama


Tiba-tiba saja, Asa anak ketigaku minta ganti nama. "Lho itu nama Bapak nyari nya susah. Emang mau diganti pakai nama apa?"
"Pelangi." Jawab dia tegas. "Panggil saja kakak Pelangi."
"Kan Asa Adila Madania udah bagus dik, kenapa harus diganti?"
"Di TK A ada temen ku yang dipanggilnya juga Asa. Aku males... " dia menjelaskan sambil cemberut.
"Kalau panggilannya Pelangi terus nama panjangnya siapa?"
"Pelangi indah di langit yang biru." Jawab dia mantab. Sejak itu dia menolak saat dipanggil Asa. Dia hanya mau dipanggil "Pelangi."

Kami hanya bisa berharap dia segera lupa, agar tidak harus mengganti akta kelahirannya.

Ataukah mungkin sebagai orang tua kita tak perlu memberi nama anak, lalu biarkan saja ia nanti yang memilih namanya sendiri setelah dia punya ide atas nama yang ia suka.

November 2015.
Poetoe.

(Bait terakhir itu ide dari +listra mindo​​)

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...