Catatan mudik tahun ini, beberapa kali rehat sholat di masjid yang masih
bergaya tradisional. Sebelum adzan dilantunkan puji-pujian, di antara adzan dan
qomat pun diisi dengan lantunan asmaul khusna. Dan seperti biasa setelah sholat
berdoa bersama diakhiri dengan bersalam salaman dengan iringan sholawat.
Sebenarnya biasa saja, tetapi tidak biasa untukku yang sedari kecil bersama
tradisi sholat berjamaah di masjid yang berbeda. Karena kami biasa lebih
personal dalam berdoa sedangkan dalam masjid yang tradisional ini ritual
menjadi terasa lebih komunal. Walau berbeda, aku menikmatinya.
Di perkotaan, masjid-masjid menyajikan menu kajian yang dinamis, cocok buat
mereka yang haus ilmu. Akhirnya jadi banyak perbedaan yang tumbuh subur. Karena
daya kritis dipupuk, dipelihara dalam kajian keilmuan yang berkecukupan.
Sedangkan di perkampungan masjid ĺebih menyediakan ruang untuk mengendapkan
pemahaman. Doa dan dzikir yang dominan menjadi menu untuk menenangkan diri.
Dua kutub yang saling mengisi, satu sisi perkotaan yang terbuka, dinamis, dan
kritis yang meluaskan wawasan, dan sisi tradisional yang ritual, komunal dan
cenderung mistis yang menenangkan, mengendapkan.
Seperti biasa cara pandang sintesis adalah cara pandang kearifan yang sakmadya,
semenjana.
Bumiayu, 9 Juli 2016
Poetoe.